Saat melihat beberapa postingan tentang aktifitas di Thamrin 10 satu kalimat yang selalu terlintas di kepala adalah “Ingin bisa kesana”. Berbagai kegiatan yang selalu bersliweran di beranda media sosial saya setiap hari minggu itu sungguh menarik perhatian. Satu hal yang saya pikirkan saat itu adalah, kok mau ya para volunteer ini membagikan ilmu dengan cuma-cuma setiap hari minggu. Padahal ilmu mereka itu kan ga gratisan dapatnya . Kegiatan yang sungguh membukakan mata saya bahwa BERBAGI ITU GA RUGI, terpampang nyata di Thamrin 10.
Latihan panahan, boxing, main musik bahkan skill mencukur rambut yang sepertinya gampang tapi ternyata aduhai sulitnya. Pernah diminta merapikan rambut Ibu saya dan berakhir dengan mengantar beliau ke salon karena hasilnya tentu diluar nalar .
Ada satu kegiatan disana yang sungguh menarik buat saya secara pribadi, yaitu menari. Melihat sampur (selendang kecil untuk menari) dan anak-anak dengan tarian mereka membuat saya teringat pada masa kecil saya. Ya…saat SD saya mengikuti ekstrakurikuler menari. Tarian pertama yang saya pelajari saat itu adalah tari Gambyong dari Jawa Tengah. Tarian ini biasanya dipakai untuk menyambut tamu yang datang pada suatu acara. Saya teringat bagaimana pelatih tari saat itu berteriak kurang mendhak (posisi berdiri merendah dengan bertumpu pada lutut dan paha) dan gerakan-gerakan tari lainnya yang penuh makna menurut beliau sehingga tidak boleh salah gerakannya.
Di era gempuran K-pop dan tarian modern lainnya, rasanya melihat pemandangan tarian tradisional diajarkan di Thamrin 10 membuat saya seperti terlontar pada 30 tahun yang lalu. Masa dimana saya digembleng untuk bisa menguasai tarian-tarian tersebut untuk dipentaskan. Aahh…indahnya .
#ceritaguedithamrin10