Senja pasti datang, matahari bukan hilang hanya saja mata kita yang tak mampu memandangnya. Secangkir teh hangat aku nikmati sebelum pelita menyala. Tubuhku sedikit menggigil. Aku gunakan kain kering untuk mengelap rambut dan tubuh yang masih basah karena kehujanan sepanjang perjalanan. Kukendarai sepeda motor siang tadi dari Kota Palembang ke Desa Teluk Tenggulang Banyuasin dengan waktu tempuh 5 jam perjalanan. Selama 3 jam hujan deras mengguyurku. Sebentar panas, sebentar hujan, cuaca ekstrim yang sering berubah-ubah sering kita alami saat ini.
Di atas kursi panjang tempatku duduk, kusenderkan punggungku di dinding papan pondok Pak Gito. Sesekali menyeruput teh, aku mendengarkan cerita Pak Gito. Saat itu suasana masih remang-remang.
Sambil bertelanjang dada, Pak Gito bercerita, “Mas, mas, njambang bibit lombok, tiga kali kok tidak jadi!” Katanya kesal. Sambil menunjukkan kertas catatan kecil dia mengatakan, “Seharusnya ini waktu yang tepat untuk menyemai bibit cabai. Tetapi kok cuacanya begini yaa. Gerah”. Belakangan buku catatan itu adalah kumpulan jadwal penanam, waktu panen, daftar belanja bibit dan catatan hasil sayur mayur dikebunnya.
“Bukanya Bapak sudah lakukan pembibitan seperti biasanya. Rumah bibit, pakai polibag, benihnya super. Dipager waring. Kurang apa lagi loo, Pak?” tanyaku.
“Itu lah mas, kayaknya cuaca ini sudah owah gingsir (tidak sesuai) tidak jadi pedoman. Pranata mangsa sudah berubah,” ucapnya.
Pak Gito merupakan seorang petani hortikultura seluas 5 hektar yang tak jauh dari desa. Karena konsistensinya bertani, dia dijadikan tokoh pertanian oleh masyarakat desa. Di pondok milik Pak Gito inilah aku tinggal ketika sedang bekerja di desa.
Selain sebagai kader aktif di Satuan Khusus BANSER Tanggap Bencana (BAGANA), aku bekerja profesional di Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sejak 2019 hingga 2024 sebagai tenaga teknis fasilitator mendamping Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) dalam merestorasi gambut. Selama kurun 5 tahun bekerja, lokasiku bekerja berpindah-pindah, namun masih dalam Provinsi Sumatera Selatan. Bahkan, kadang aku diberi tugas keluar kota seperti di Papua dan Kalimantan untuk membantu kegiatan pra kondisi kegiatan restorasi mangrove di sana.
Karena pekerjaanku yang sering berada diberbagai wilayah, aku gunakan kesempatan itu untuk menjumpai sahabat-sahabat kader GP Ansor dan BANSER di lokasi kerja untuk bersilaturahmi, berbagi informasi dan kadang membicarakan tentang pengalaman-pengalaman menarik saat berkhidmat di organisasi NU.
Saat waktu Magrib, aku bergegas pergi ke Masjid yang tak jauh dari pondok dengan sepeda motor melewati jalan becek habis diguyur hujan dan tak ada penerangan jalan. Setelah selesai shalat jama’ah, aku menemui sahabat Bisri Mustofa, akrab dipanggil Pak Tofa, senior PAC GP Ansor Tungkal Ilir. Dia seorang petani yang juga da’i, sering memimpin shalat jama’ah di masjid, menjadi penghulu dan dijadikan tokoh penggerak agama di desanya.
Sambil berdiri di teras masjid aku menyalaminya dan menanyakan kabar. “Sehat Pak Tofa,” tanyaku.
“Alhamdulilah sehat mas,” jawabnya. Sambil berjabat tangan, “Kapan datang?” Balas tanya.
“Sore tadi Pak,” jawabku. Bagaimana mengurus kebunnya, cuaca lagi tidak bagus Pak? Balas tanyaku kembali.
Menurunya Pak Tofa, cuaca ektrim yang terjadi, sering mengganggu produksi getah karet dan sawit diperkebunan milik warga desa. Setidaknya saat musim pancaroba bulan ini, tanaman karet mengalami 1-2 kali trek. Trek pada pada pokok karet ditandai dengan gugur daun dan getah tidak keluar ketika disadap, terjadi seiring adanya perubahan pola cuaca yang berubah-ubah. Apabila hari ini hujan lalu besok panas terik, begitu sterusnya maka trek pada pohon karet terjadi.
Musim trek biasanya dialami setahun sekali, sekarang ini bisa berkali-kali. Dampaknya, getah yang disadap tidak ada dan petani tidak mendapat hasil. Biasanya para petani dapat menjual hasil getah dalam bentuk latek yang dibekukan dalam 1 kotak seminggu sekali. Jika musim trek, petani bisa menjual 1 kotak getah dalam 2 minggu, hasilnya tentu mengalami penurunan.
Menurut Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Tangguh di Desa Teluk Tenggulang bulan September lalu, terjadi kebakaran lahan. “Setidaknya 50 hektar semak belukar milik warga terbakar. Entah darimana asalnya api membakar,” ujar Suryadi, ikut nimbrung diobrolan kami.
“Pada situasi itu, rumput dan ranting pohon kering. Ada memang kiriman hujan, akan tetapi tak banyak. Hujan kadang turun dalam tempo yang lama, saat musim pancaroba” ungkapnya.
Dipimpin Suryadi, Anggota MPA dan masyarkat melakukan pemadaman pada belukar yang terbakar.
Kondisi lembab dan gerah, cuaca sebentar panas, sebentar hujan, musim trek karet berkali-kali tidak wajar, kegagalan bertani karena pergeseran musim, terjadinya kebakaran lahan merupakan peristiwa yang dirasakan kita sehari-hari dalam waktu yang lama diyakini sebagai gejala perubahan iklim di desa-desa berbasis pertanian dan perkebunan khusunya desa yang memiliki karakter ekosistem gambut.